Minggu, 27 Mei 2012

Parenting dan Pendidikan Karakter

PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Aries Musnandar   
Kamis, 08 Maret 2012 07:23

Upaya perbaikan kualitas perilaku bangsa menjadi semakin penting mengingat belakangan ini marak dibahas perlunya kegiatan pendidikan karakter yang mampu membentuk karakter bangsa (a nation character building) secara baik. Tak dapat dipungkiri bahwa polemik tentang masalah karakter bangsa ini didasarkan keprihatinan atas perilaku masyarakat baik pada lapis bawah hingga elite yang jauh dari nilai-nilai Pancasila yang sarat dengan pesan-pesan moral, kemanusiaan, kebersamaan, kebijaksanaan dan keadilan. Berbagai perilaku negatif masyarakat dan elite yang menyeruak seperti aksi-aksi kekerasan yang anarkistis, tawuran, pemerkosaan, main hakim sendiri, kecurangan, suap menyuap, korupsi dan mafia hukum mulai kelas teri hingga kakap telah menghiasi kehidupan berbangsa kita sehari-harinya.
Pembinaan karakter anak bangsa memang dapat melalui penataan sistem pendidikan nasional yang oleh pemerintah dititik beratkan pada lembaga persekolahan. Sebenarnya disadari bahwa proses pendidikan di Indonesia dalam arti luas tidak semata-mata berlangsung di sekolah tetapi juga dapat berlangsung pada ruang gerak sektor atau institusi (i) keagamaan, seperti pengajian, ceramah, sekolah minggu, khutbah dan seterusnya;  (ii) kemasyarakatan (seperti melalui media massa / internet / teknologi informasi dan kepramukaan); serta institusi (iii) keluarga. Menurut  pemerhati pendidikan Universitas Negeri Malang bahwa ketiga institusi ini saling berhubungan dan memengaruhi satu sama lain dalam membentuk karakter warga bangsa. Oleh karena itu kita tidak bisa hanya mengandalkan sekolah dalam membentuk karakter bangsa (Dimyati, 2011).
Salah satu institusi yang sangat signifikan dalam pembentukan karakter anak bangsa adalah keluarga. Dalam konteks ini mengoptimalkan peran ibu dalam "tindak mendidik" adalah hal yang pertama dan utama untuk diperhatikan sungguh-sungguh bagi peningkatan kualitas anak.

Peran dan Peranan Ibu
Sifat, dan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya merupakan kodrati sesuatu hal yang tak tergantikan. Ajaran agama juga telah banyak mengungkapakan arti penting keberadaan Ibu dalam membentuk karakter anak dan keluarga. Persoalannya adalah bagaimana pemangku kepentingan di negeri ini  memosisikan peran sentral ibu dalam pembentukan karakter anak bangsa? Apa yang telah dilakukan Pemerintah dalam upaya menjadikan ibu-ibu Indonesia menjadi sosok panutan dan teladan dalam keluarga yang akan membentuk karakter anak?
Undang undang sistem pendidikan nasional (UU SPN) no 20 tahun 2003 lebih mengatur proses pendidikan di lembaga sekolah, sehingga pendidikan karakter pun oleh penyelenggara Negara ini di "titip" kan di lemabaga tersebut. Sejatinya pembentukan karakter anak bangsa tidak bisa hanya mengandalkan lembaga persekolahan semata.  Kesehariannya anak didik berada sekitar 4-5 jam saja di sekolah, selebihnya mereka di "didik" oleh institusi keluarga,  agama, pramuka, media (masyarakat)  yang cukup signifikan memengaruhi pembentukan karakter anak bangsa. Gaung kebijakan pendidikan karakter terdengar nyaring pada institusi sekolah mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi, tidak demikian halnya di institusi keluarga.  Sorotan masyarakat belakangan ini terhadap sosok Ibu cukup negatif diberitakan media massa bahkan ada TV swasta yang memberi judul tayangannya cukup sensitif  "perempuan dalam pusaran korupsi". Sarkasme seperti ini membuat kita miris, mengelus dada dan menandakan perlu lebih peduli pada sosok ibu dalam pendidikan karakter.
Senyatanya, pemerintah dan masyarakat awam tampak menggantungkan nasib pendidikan anak-anak pada lembaga sekolah. Padahal lembaga sekolah memiliki keterbatasan baik dari sisi efektivitas maupun efisiensi pendidikan, mengingat unsur-unsur yang ikut membentuk karakter anak terlalu banyak berada di luar persekolahan. Alhasil, seperti yang kita saksikan dan rasakan sendiri betapa mutu karakter bangsa belum sesuai harapan.  Salah satu bagian penting pembentukan karakter anak didik itu justru dari proses dan pola hubungan antara orang tua dan anak di dalam suatu keluarga. Kompetensi mendidik mesti dimiliki orang tua terutama sang ibu yang secara kodrati memang memilki sifat kasih sayang yang berguna dalam membentuk karakter putra-putrinya.
Para (calon) ibu dan ayah perlu disiapkan dan dikuatkan sedemikian rupa agar kompetensi yang dimiliki dalam mendidik dan membentuk karakter putra-putrinya melalui institusi keluarga berhasil dan berdaya guna. Paling tidak terdapat dua cara  atau gagasan untuk maksud tersebut.
Gagasan pertama adalah dengan mengoptimalkan kerjasama melalui kegiatan yang saling melengkapi "simbiosis mutualistis" antara pihak sekolah dan keluarga (orang tua) yang dilakukan secara tetap dan menjadi agenda rutin. Pengejawantahan program ini tidak hanya untuk ibu dengan istilah "mothering" tetapi juga untuk ayah yakni "fathering" serta keduanya yaitu "parenting".
Program "mothering" untuk kaum hawa (ibu dan calon ibu), "fathering" untuk kaum Adam (ayah dan calon ayah) serta "parenting" untuk para orang tua (ayah dan ibu) dapat dilakukan oleh sekolah dan dapat dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Keberadaan tenaga konseling di sekolah perlu diberdayakan dan dimanfaatkan lebih maksimal untuk memfasilitasi terwujud nyatanya program-program tersebut melalui KTSP.  Perlu pula dilakukan sosialisasi atau penyadaran kepada pihak terkait bahwa program ini perlu dan penting diselenggarakan guna menjembatani ketimpangan yang terjadi tatkala pihak sekolah "sendirian bertugas" membentuk watak anak didik. Kita mencermati selama ini di sekolah-sekolah kegiatan mengajar mendominasi ketimbang "mendidik".
Gagasan kedua dalam konteks pemberdayaan calon ibu dan ayah dalam membina keluarga adalah melalui pendirian sekolah pra-nikah yang bersifat non formal bagi para calon orang tua (ortu). Kegiatan ini dapat dilakukan dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan dan agama (juga KUA) yang bertujuan menyiapkan calon-calon ortu khususnya calon ibu dalam menghadapi berbagai persoalan keluarga seperti cara mendidik anak, peran dan peranan ibu dalam keluarga yang sakinah. Pemahaman tentang membentuk happy marriage of family (keluarga sakinah)  perlu disosialisasikan kepada para (calon) ayah dan ibu agar mampu membina karakter putra-putrinya. Pembentukan karakter anak bangsa memang perlu dimulai dari institusi keluarga, tidak tergantung pada institusi sekolah yang sarat keterbatasan dan problematika. Oleh karena itu paradigma yang menyerahkan persoalan karakter anak bangsa semata-mata pada institusi sekolah mesti dirubah dan pemerintah perlu lebih peduli untuk melibatkan institusi lainnya seperti keluarga. Tanpa itu pendidikan karakter akan kurang lengkap dan sulit mencapai sasaran.
Dari kedua gagasan diatas ide untuk membuat program "mothering, fathering, parenting" dan atau pendidikan bagi calon ayah dan ibu dapat  lebih mudah dilakukan mengingat pihak sekolah umumnya telah memiliki sumber daya manusia (guru BK) dan sudah terbiasa dengan berbagai program sejenis. Sehingga implementasi dari gagasan ini sangat memungkinkan untuk ditumbuh- suburkan merata di setiap sekolah serta diharapkan  persoalan karakter bangsa yang menjadi sorotan itu dapat teratasi.
*) Mhs MPI PPs-UIN Maliki Malang

http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2922:parenting-dan-pendidikan-karakter&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210

Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Berkelanjutan

Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) kadang-kadang sangat sulit dibedakan dengan penguatan masyarakat serta pembangunan masyarakat (community development). Karena prakteknya saling tumpang tindih, saling menggantikan dan mengacu pada suatu pengertian yang serupa.
Pendapat dari Cook (1994) menyatakan pembangunan masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan upaya peningkatan atau pengembangan masyarakat menuju kearah yang positif. Sedangkan Giarci (2001) memandang community development sebagai  suatu hal yang memiliki pusat perhatian dalam membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitasi dan dukungan agar mereka mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola dan mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya. Proses ini berlangsung dengan dukungancollective action dan networking yang dikembangkan masyarakat.
Sedangkan Bartle (2003) mendefinisikan community development sebagai alat untuk menjadikan masyarakat semakin komplek dan kuat. Ini merupakan suatu perubahan sosial dimana masyarakat menjadi lebih komplek, institusi lokal tumbuh, collective power-nya meningkat serta terjadi perubahan secara kualitatif pada organisasinya.
Berdasarkan persinggungan dan saling menggantikannya pengertian community  development dan community empowerment, secara sederhana, Subejo dan Supriyanto (2004) memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial”.
Dalam pengertian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat merupakan proses untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang.
Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan sustainable development dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu prasyarat utama serta dapat diibaratkan sebagai gerbong yang akan membawa masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang dinamis. Lingkungan strategis yang dimiliki oleh masyarakat lokal antara lain mencakup lingkungan produksi, ekonomi, sosial dan ekologi. Melalui upaya pemberdayaan, warga masyarakat didorong agar memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal serta terlibat secara penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial dan ekologi-nya. Secara ringkas keterkaitan antara pemberdayaan masyarakat dengan sustainable development.

Pemberdayaan masyarakat terkait erat dengan faktor internal dan eksternal. Tanpa mengecilkan arti dan peranan salah satu faktor, sebenarnya kedua faktor tersebut saling berkontribusi dan mempengaruhi secara sinergis dan dinamis. Meskipun dari beberapa contoh kasus yang disebutkan sebelumnya faktor internal sangat penting sebagai salah satu wujud self-organizing dari masyarakat namun kita juga perlu memberikan perhatian pada faktor eksternalnya.
Seperti yang dilaporkan Deliveri (2004), proses pemberdayaan masyarakat mestinya juga didampingi oleh suatu tim fasilitator yang bersifat multidisplin. Tim pendamping ini merupakan salah satu external factor dalam pemberdayaan masyarakat. Peran tim pada awal proses sangat aktif tetapi akan berkurang secara bertahap selama proses berjalan sampai masyarakat sudah mampu melanjutkan kegiatannnya secara mandiri. Dalam operasionalnya inisiatif tim pemberdayaan masyarakat (PM) akan pelan-pelan dikurangi dan akhirnya berhenti. Peran tim PM  sebagai fasilitator akan dipenuhi oleh pengurus kelompok atau pihak lain yang dianggap mampu oleh masyarakat.

Waktu pemunduran tim PM tergantung kesepakatan bersama yang telah ditetapkan sejak awal program antara tim PM dan warga masyarakat. Berdasar beberapa pengalaman dilaporkan bahwa pemunduran Tim PM dapat dilakukan minimal  3 tahun setelah proses dimulai dengan tahap sosialisasi. Walaupun tim sudah mundur, anggotanya tetap berperan, yaitu sebagai pensehat atau konsultan bila diperlukan oleh masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu tema sentral dalam pembangunan masyarakat seharusnya diletakkan dan diorientasikan searah dan selangkah dengan paradigma baru pendekatan pembangunan. Paradigma pembangunan lama yang bersifat top-down perlu direorientasikan menuju pendekatan bottom-up yang menempatkan masyarakat atau petani di pedesaan sebagai pusat pembangunan atau oleh Chambers dalam Anholt (2001) sering dikenal dengan semboyan “put the farmers first”.
Menurut Nasikun (2000:27) paradigma pembangunan yang baru tersebut juga harus berprinsip bahwa pembangunan harus pertama-tama dan terutama dilakukan atas inisitaif dan dorongan kepentingan-kepentingan masyarakat, masyarakat harus diberi kesempatan untuk terlibat di dalam keseluruhan proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunannya; termasuk pemilikan serta  penguasaan aset infrastrukturnya sehingga distribusi keuntungan dan manfaat akanlebih adil bagi masyarakat.
Aspek penting dalam suatu program pemberdayaan masyarakat adalah program yang disusun sendiri oleh masyarakat, mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat, mendukung keterlibatan kaum miskin dan kelompok yang terpinggirkan lainnya, dibangun dari sumberdaya lokal, sensitif terhadap nilai-nilai budaya lokal, memperhatikan dampak lingkungan, tidak menciptakan ketergantungan, berbagai pihak terkait terlibat (instansi pemerintah, lembaga penelitian, perguruan tinggi, LSM, swasta dan pihak lainnya), serta dilaksanakan secara berkelajutan.

Sumber :http://www.pemberdayaan.com/pembangunan/pemberdayaan-masyarakat-dan-pembangunan-berkelanjutan.html

Peran PLS dalam Pembangunan Masyarakat

Pendidikan luar sekolah adalah usaha sadar yang diarahkan untuk menyiapkanr meningkatkan dan mengembangkan sumber daya manusia, agar memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap dan daya saing untuk merebut peluang yang tumbuh dan berkembang. dengan mengoptimalkan penggunaan sumber-sumber yang ada di lingkungannya. Pendidikan luar sekolah juga merupakan satu proses pendidikan yang sasaran, pendekatan, dan keluarannya berbeda dengan pendidikan sekolah, dan bukan merupakan pendidikan sekolah yang dilakukan di luar waktu sekolah. Pendidikan luar sekolah sudah ada sebelum pendidikan persekolahan tumbuh di bumi ini. Pendidikan luar sekolah dimulai sejak manusia lahir di bumi dan berakhir setelah manusia masuk liang kubur. Sedangkan pendidikan sekolah dimulai setelah manusia memenuhi usia tertentu dan diakhiri pada usia tertentu. Pendidikan luar sekolah bertugas untuk menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki kebisaan yang siap menghadapi perubahan sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat yang dihasilkan oleh manusia-manusia terdidik. Serta Pendidikan luar sekolah dapat juga dikatakan sebagai proses memanusiakan manusia untuk meningkatkan kualitas berpikir, moral dan mental sehingga mampu memahami, mengungkapkan, membebaskan. dan menyesuaikan dirinya terhadap realitas yang melingkupinya.
Peran Pendidikan Luar Sekolah dalam pembangunan
Pendidikan Luar Sekolah mempunyai peranan sebagai sub sistem dalam sistem pendidikan nasional Indonesia yang harus memainkan peran ganda baik mendidik maupun mengajar. Dan untuk dapat berperan secara maksimal baik sebagai pengajaran maupun pendidikan diperlukan kesiapan sikap mental dan pengetahuan yang dalam dan luas di bidang kemasyarakatan supaya dapat mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat. Dan hal ini akan dapat diwujudkan apabila ditemukan cara pengelolaan yang tepat, strategis yang memadai, sumber daya pengelola yang mumpuni dan kelembagaan yang mapan.
1. Peran PLS sebagai pendidikan dasar
Yang merupakan pendidikan dasar adalah Program keaksaraan paket A dan B masih perlu diteruskan, karena sangat penting bagi kelanjutan hidup masyarakat setelah dewasa nantinya. Apabila seseorang sudah melek huruf tentu akan dapat mandiri tanpa harus selalu tergantung dengan orang lain. PLS disini sebagai pengganti pendidikan formal. Dengan adanya PLS ini maka masyarakat yang dulunya belum pernah mengenyam pendidikan dan juga yang putus sekolah dapat melanjutkan pendidikannya lagi.

2 Peran PLS Sebagai Program Pelatihan
Kelompok program PLS seperti ini dimaksudkan untuk memperbaiki ke-
cakapan, keterampilan, dan kinerja individu agar dapat memperbaiki kualitas
hidupnya. Program keterampilan kerja dapat diperuntukkan bagi mereka yang
belum bekerja atau yang sudah bekerja tetapi ingin memperbaikinya, atau kepada
mereka yang keterampilannya tidak lagi laku karena tidak mampu bersaing de-
ngan yang lebih kuat.
Tugas tenaga PLS adalah:
• melakukan pengkajian atau analisis kebutuhan belajar
• merencanakan program pembelajaran
• mengorganisir pelatihan
• menyiapkan pelatih
• menentukan target
• melaksanakan
• menilai dan
• mempersiapkan program pendampingan pasca latihan.
Strategi dalam pembangunan masyarakat ini adalah melalui pemberdayaan. Pemberdayaan itu adalah upaya untuk membuat orang memperoleh pema-
haman pengendalian tentang kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan politik guna
memperbaiki kedudukannya di masyarakat.
Perbaikan kedudukan ini dapat diperoleh dengan :
1) Akses, yang meliputi kesempatan lebih besar dalam memperoleh sumber (resources); (2) Daya tawar, berupa peningkatan daya tawar yang lebih kuat
(3) Pilihan, yakni kecakapan dan peluang untuk memilih berbagai pilihan
(4) Status, yakni memperbaiki image pribadi, harga diri, dan sikap-sikap positif terhadap budayanya
(5) Kecakapan kritis, yakni memakai pengalamannya secara tepat, menilai manfaat
yang potensial dari pemecahan-pemecahan masalah
(6) Legitimasi, atau memperoleh pengakuan selayaknya
(7) Disiplin, yakni menentukan sendiri standar untuk bekerja dengan orang lain secara produktif; dan
(8) Persepsi kreatif, yakni pandangan yang lebih positif dan inovatif terhadap hubungan dengan orang lain dan lingkungannya.

      Melalui pendidika luar sekolah ini sangat membantu juga dalam menunjang kesejahteraan masyarakat. Karena melalui pendidikan luar sekolah juga masyarakat dapat memperoleh banyak keterampilan, karena banyak jenis pendidikan luar sekolah yaitu:
• pendidikan kesetaraan
• pendidikan keaksaraan fungsional
• pendidikan pelatihan
• pendidikan kepemudaan
• pemberdayaan wanita
• kursus
• majelis taqlim
      Itu sebabnya banyak manfaat yang diberikan pendidikan luar sekolah dalam pembangunan masyarakat. Dimana fungsi pendidikan luar sekolah itu adalah sebagai pengganti dari pendidikan formal yaitu pendidikan kesetaraan. Baik paket A,B, dan paket C. sebagai penambah dan pelengkap pendidikan yang diperoleh dari pendidikan formal seperti kursus keterampilan maupun kursus untuk mata pelajaran tertentu.
Berdasarkan fungsi pendidikan luar sekolah dalam pembangunan maka program-program pendidikan ini dapat diklasifikasi ke dalam lima kategori:
1. pendidikan luar sekolah yang berkaitan dengan pendidikan ideologi negara dan moral bangsa bagi masyarakat
2. pendidikan dasar, yaitu Kelompok Belajar Paket A, untukmemberantas buta aksara dan angka, buta pengetahuan dasar dan buta bahasa Indonesia
3. pendidikan mata pencaharian yang mencakup antara lain Kelompok Belajar Usaha yang menyelenggarakan kegiatan belajar dalam bidang industri makanan, alat-¬alat olah raga, perkakas rumah tangga, tata busana, dan pertanian
4. pendidikan kejuruan/ketrampilan yang berkaitan dengan latihan kerja, meliputi program kegiatan belajar dalam rumpun kesehatan, pertanian, kerajinan dan industri teknologi, kesenian niaga dan bahasa
5. pendidikan lainnya yang meliputi penyuluhan melalui media elektronika dan media cetak, motivasi, pelatihan kepemudaan, kepramukaan.

di kutip dari: http://wwwsherlypanjaitan.blogspot.com/2010/05/peranan-pls-dalam-pembangunan.html

Rabu, 23 Mei 2012

Pendidikan Orang Dewasa

ImageBerbagai polemik mewarnai pengertian Pendidikan Orang Dewasa (POD) yang sebenarnya. Beberapa orang berpikir bahwa POD hanya sebuah program penghapusan buta huruf, atau hanya sekedar kursus keterampilan (sama dengan PLS/Pendidikan Luar Sekolah). Untuk meluruskan masalah ini, PPSW sebagai salah satu lembaga yang bergerak di advokasi masyarakat basis mengadakan “Workshop Advokasi Pendidikan Orang Dewasa” yang diselenggarakan pada 11-13 Mei 2009 di Hotel Sri Varita, Jakarta Pusat. Workshop ini dihadiri oleh para pendamping lapangan dan staf program dari seluruh lembaga anggota asosiasi: PPSW Jakarta, PPSW Pasoendan, PPSW Borneo, PPSW Sumatera dan Sekretariat PPSW. Workshop ini difasilitasi oleh PPSW bekerjasama dengan DVV International-sebuah lembaga donor dari Jerman yang melakukan program POD dengan memberikan pelatihan penyadaran kritis dan peningkatan keterampilan praktis. Untuk memperkaya pemahaman akan Pendidikan Orang Dewasa dan advokasi, PPSW juga mengundang fasilitator dan narasumber-narasumber yang berkompeten di bidang Pendidikan Orang Dewasa.
Workshop Advokasi POD dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai kebijakan pendidikan secara umum dan PLS di Indonesia; memahami pemetaan pendidikan khususnya PLS di Indonesia; memberikan rekomendasi penggunaan istilah POD sebagai pengganti istilah PLS atau vocational education; dan meningkatkan keterampilan staf untuk memfasilitasi kegiatan advokasi POD di kabupaten dan penyususnan legal drafting PERDA POD kabupaten.

Pendidikan Orang Dewasa (POD) mempunyai arti yang lebih luas, baik berdasarkan konten materi, karakteristik peserta belajar maupun fasilitator ataupun instruktur pendidikan, jika dibandingkan dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS). PLS yang dilakukan peyelenggara selama ini hanya berisi pelatihan keterampilan teknis (life skill) untuk menyiapkan peserta pelatihan agar mampu membuka usaha atau siap kerja untuk mencari nafkah. Sementara POD membimbing peserta didiknya di dalam pelajaran kesadaran kritis yang mempertanyakan penyebab banyaknya persoalan masyarakat seperti pengangguran, putus sekolah, mahalnya baiaya pendidikan, biaya kesehatan dan masih banyak lagi.

Hari pertama workshop dibuka oleh Fasilitator dari HRWG (Human Rights Working Group) yaitu M. Chairul Anam yang kemudian diisi materi yang disampaikan oleh narasumber Nani Zulminarni (wali amanah) mengenai “Filosofi Pendidikan POD”, materi ini disampaikan dengan tujuan menyatukan pandangan mengenai POD sebelum melakukan advokasi.
Setelah itu peserta diajak untuk menelaah ”Human Right Based Approach” dari kacamata hak asasi manusia dan kewarganegaraan yang disampaikan oleh M. Chairul Anam (fasilitator), kesimpulannya bahwa hak asasi manusia merupakan kewajiban negara dan warga negara secara sosial berhak ikut serta dalam mewujudkan akses terwujudnya HAM tersebut. Sesi ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran peserta workshop mengenai hak dan kewajiban kita sebagai warga negara untuk menyadarkan masyarakat akan adanya hak untuk mendapatkan pembelajaran, untuk belajar, berpikir, berkeyakinan dan berpendapat. Hari pertama workshop diakhiri dengan sharing pengalaman, peserta diminta untuk menceritakan pengalaman mereka selama melakukan advokasi pendidikan.

Hari kedua untuk sesi pagi, diisi materi mengenai CONFINTEA yang disampaikan oleh Yanti Muchtar (direktur Kapal Perempuan). CONFINTEA adalah konferensi internasional yang diadakan 12 tahun sekali untuk membahas Pendidikan Orang Dewasa, konferensi ini berstatus kategori 2, jadi ada deklarasi, melibatkan negara-negara yang berkepentingan namun hasilnya tidak mengikat. CONFINTEA lebih banyak melibatkan masyarakat sipil dan pendidik, jadi bukan hanya pemimpin negara saja. Materi dilanjutkan dengan tema ”Konsep dan implementasi POD” yang disampaikan oleh Sri Koeswantono W (Kajur PLS UNJ) dan ”Dasar hukum, tujuan, ruang lingkup/substansi, lembaga penyelenggara Pendidikan Luar Sekolah” yang disampaikan oleh Elih Sudiapermana (Kasubdit Kesetaraan Pendidikan Keaksaraan
Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional). Narasumber menyatakan setiap warga negara berhak terpadap pendidikan, tugas negara adalah membuat regulasi agar setiap warga negara memperoleh pendidikan. Pemerintah sudah mengeluarkan beberapa peraturan yang mengatur tentang akan pentingnya POD ini, yaitu: UUD 1945 pasal 28 C ayat (1); UU Sisdiknas No.20/2003 pasal 4, 5, 13, 26 ayat (1, 2 dan 3) dan  27 ayat (1). Esensinya adalah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar, dengan mengembangkan pendidikan formal dan non formal.

Sesi dilanjutkan dengan diskusi mengenai pengertian dan konsep POD, cakupan dan sasaran POD, Model dan pengalaman terbaik dalam sejalah perjalanan advokasi POD PPSW. Setelah itu peserta diminta untuk merumuskan kerangka position paper untuk melanjutkan advokasi ke tingkat yang lebih tinggi lagi, dan dipilih tim penulis position paper POD,  Endang Sulfiana, Yayah Sobariyah dan Tri Endang Sulistyowati.

Hari terakhir workshop advokasi POD merumuskan Rencana Tindak Lanjut Advokasi POD di tingkat nasional dan tingkat kabupaten. Setelah itu, acara ditutup dengan memberikan evaluasi antar sesama peserta workshop  melalui permainan surat cinta.

Sumber :http://www.ppsw.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=78&Itemid=1

Pendidikan Karakter untuk Membangun Generasi Muda

Selasa, 22 Mei 2012

Lifeskills


 


Untuk menghadapi berbagai tantangan pada saat ini, Remaja perlu dibantu dan difasilitasi dengan berbagai keterampilan. Keterampilan tersebut diantaranya Keterampilan Hidup (Life Skills). Konsep Keterampilan Hidup yang diuraikan dalam buku ini jauh lebih luas dari keterampilan yang pada umumnya dikembangkan. Keterampilan Hidup dalam Program Penyiapan Kehidupan Berkeluarga bagi Remaja (PKBR) yang dibahas dalam buku ini mencakup : 1). Keterampilan Fisik yang intinya adalah bagaimana menyeimbangkan antara nutrisi, olah raga, dan istirahat; 2). Keterampilan Mental yang intinya adalah bagaimana berpikir secara positif; 3). Keterampilan Emosional yang intinya adalah bagaimana berkomunikasi dengan orang lain secara efektif; 4). Keterampilan Spiritual yang intinya adalah bagaimana bersyukur dan berdoa untuk memperoleh keridoan Allah SWT; 5) Keterampilan Vokasional yang
intinya adalah bagaimana menjadikan hobi dan bakat menjadi usaha untuk hidup mandiri; 6). Keterampilan Adversity yang intinya adalah bagaimana menghadapi kesulitan hidup dengan mengubah hambatan menjadi peluang. Diharapkan buku ini bisa menjadi bagian dari materi Program PKBR, sehingga Pendidikan Sebaya, Konselor Sebaya dan berbagai kegiatan latihan remaja dalam program PKBR dapat menginformasikan, membahas serta mendiskusikan materi Keterampilan Hidup ini secara lebih mendalam. Keenam materi Keterampilan Hidup yang diuraikan dalam buku ini diharapkan akan mampu memperkuat ketegaran remaja dalam menghadapi berbagai tantangan dan resiko kehidupan yang ada disekitarnya. Buku ini adalah hasil dari studi dan diskusi yang cukup panjang di lingkungan Direktorat Remaja dan PHR. Sudah barang tentu buku ini masih jauh dari sempurna, terutama sekali dalam gaya bahasa dan tata penyajiannya. Oleh sebab itu kepada semua pihak yang telah membantu sehingga buku ini bisa dicetak, dan kepada siapa saja yang sempat membaca kemudian memberikan saran perbaikan, kami ucapkan banyak terima kasih.

Selasa, 01 Mei 2012

PAUD

PENGERTIAN PAUD

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.

Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.

PAUD merupakan salah satu jenis Pendidikan luar Sekolah (PLS) termasuk pada satuan kelompok belajar tetapi bukan merupakan persyaratan masuk TK atau SD.
PAUD adalah pendidikan luar sekolah seperti Kelompok Bermain dan Penitipan Anak, yang umumnya berjalan sendiri-sendiri dengan polanya masing-masing, sedangkan PADU adalah pendidikan sekolah seperti Taman Kanak-kanak (TK), yang sudah mulai dibina dan diasuh oleh Depdiknas.

Program studi PAUD dibentuk dengan pertimbangan bahwa masyarakat Indonesia dewasa ini sedang berada dalam kondisi moral dan mentalitas yang memprihatinkan, yang menjadi akar dari kompleksitas persoalan bangsa. Perbaikan terhadap kondisi moral dan mentalitas kolektif bangsa Indonesia perlu dilakukan melalui pendidikan bagi generasi penerus sejak usia dini. Karena itu, perhatian terhadap pendidikan anak usia dini mejadi suatu keharusan dalam upaya mempersiapkan generasi penerus yang dapat membawa kehidupan bangsa ke arah perbaikan yang bermatabat.
Masyarakat sendiri sudah tampak menyadari pentingnya pendidikan anak usia dini. Hal ini terlihat dari berkembang pesatnya lembaga-lembaga pendidikan bagi anak-anak usia balita seperti kelompok bermain (play group),taman kanak-kanak dan sekolah dasar, baik yang dikelola yayasan maupun berbagai lembaga keagamaan. Pendidikan anak usia dini sendiri tidak ditekankan semata kepada pemberian stimulus pengayaan pengetahuan anak, tetapi lebih diarahkan kepada pengembangan potensi dan daya kreatifitas anak, dan yang sangat penting adalah pada pembentukan sikap mental dan kepribadian anak yang berlandaskan pada nilai-nilai ajaran agama. Hal itu semua akan menjadi pondasi bagi perkembangan watak dan kepribadian anak sampai mereka dewasa dan siap menjalankan berbagai peran kemanusiaan. Program PAUD diarahkan untuk mempersiapkan para pendidik, guru, praktisi dan konsultan di bidang pendidikan anak usia dini.

Sumber : http://paud-azaria.blogspot.com/p/pengertian-paud-1.html

PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat)


Pusat kegiatan belajar masyarakat Dalam Pendidikan Luar Sekolah
oleh: M. Iqbal Fadhil,Nia Kurniasih,Sari Astuti
A. Pengertian PKBM
Menurut UNESCO defenisi PKBM adalah pusat kegiatan belajar masyarakat adalah sebuah lembaga pendidikan yang diselenggrakan di luar sistem pendidikan formal diarahkan untuk masyarakat pedesaan dan perkotaan dengan dikelola oleh masyarakat itu sendiri serta memberi kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan berbagai model pembelajaran dengan tujuan mengembangkan kemampuan dan keterampilan masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidupnya. (Mustafa kamal, 2009: 85)
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan satuan pendidikan nonformal sebagai tempat pembelajaran dan sumber informasi yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat yang berorientasi pada pemberdayaan potensi setempat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. (http://imadiklus.com/2010/03/acuan-program-peningkatan-mutu-kelembagaan-pusat-kegiatan-belajar-masyarakat.html)
 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) adalah tempat pembelajaran dalam bentuk berbagai macam keterampilan dengan memanfaatkan sarana, prasarana, dan segala potensi yang ada di sekitar lingkungan kehidupan masyarakat, agar masyarakat memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan dan memperbaiki taraf hidupnya. (http://typecat.com/pdf/pengertian-pkbm.html#)

B. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat ini merupakan salah satu alternative yang dipilih dan dijadikan sebagai ajang proses pemberdayaan masyarakat. Hal ini selaras dengan adanya pemikiran bahwa dengan melembagakan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, maka akan banyak potensi yang dimiliki oleh masyarakat yang selama ini belum dikembangkan secara maksimal. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat diarahkan untuk dapat mengembangkan potensi-potensi tersebut menjadi bermanfaat bagi kehidupannya. Agar mampu mengembangkan potensi-potensi tersebut, maka diupayakan kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan di PKBM bervariasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

C. Konsep PKBM
Pada tingkat kongkrit, konsep merupakan suatu gambaran mental dari beberapa objek atau kejadian yang sesungguhnya. Pada tingkat abstrak dan komplek, konsep merupakan sentesis sejumlah kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman dengan objek atau kejadian tertentu. Pusat kegiatan belajar masyarakat atau PKBM, merupakan sebuah lembaga pendidikan yang lahir dari pemikiran tentang kesadaran akan pentingnya kedudukan masyarakat dalam proses pembangunan pendidikan nonformal. Oleh sebab itu berdirinya PKBM ditengah masyarakat diharapkan mampu menjadi tulang punggung bagi terjadinya proses pembangunan melalui pemberdayaan potensi-potensi yang ada dimasyarakat.
Menurut Sihombing, bahwa PKBM merupakan salah satu alternative yang dapat dipilih dan dijadikan ajang pemberdayaan masyarakat. Hal ini selaras dengan pemikiran bahwa dengan melambangkan PKBM, akan banyak potensi yang selama ini tidak tergali akan dapat digali , ditumbuhkan, dimanfaatkan, dan didayagunakan melalui pendekatan-pendekatan budaya yang persuasif.
PKBM sebagai salah satu mitra kerja pemerintahan dalam mencerdaskan kehidupan mayarakat melalui program-program pendidikan nonformal, diharapkan mampu menumbuhkan masyarakat belajar sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kemandirian, keberdayadidikan, an inovatif dalam mencari berbagai informasi baru dalam rangka meningkatkan kehidupannya. Sebagai sebuah pusat pembelajaran, PKBM dbangun atas dasar kebutuhan masyarakat dengan menitik beratkan pada swadaya, gotong royong dan partisipasi masyarakat itu sendiri. Terutama berkaitan dengan pentingnya peningkatan kemampuan, keterampilan dan kecerdasan anggota masyarakat.

D. Tujuan PKBM
Ada tiga tujuan penting dalam rangka pendirian dan pengembangan PKBM:
1. Memberdayakan masyaraka agar mampu untuk mandiri
2. Meningkatkan kualitas hidup masyarakat baik dari segi social maupun ekonomi
3. Meningkatkan kepekaan terhadap masalah-masalah yang terjadi di lingkungannya sehingga mampu memecahkan permasalahan tersebut
Menurut Sihombing dalam bukunya Pendidikan Luar Sekolah Kini dan Masa Depan (1999) menyebutkan, bahwa tujuan pelembagaan PKBM adalah untuk menggali, menumbuhkan, mengembangkan dan memanfaatkan seluruh potensi yang ada di masyarakat, untuk sebesar-besarnya pemberdayaan masyarakat itu sendiri.

E. Fungsi PKBM
Berdasarkan peran ideal PKBM ada beberapa fungsi yang dapat dijadikan acuan, dimana fungsi-fungsi tersebut berhubungan satu sama lain secara terpadu. Dimana fungsi-fungsi tersebut merupakan karakteristik dasar yang harus menjadi acuan pengembangan kelembagaan PKBM sebagai wadah pembelajaran masyarakat.
1. Sebagai tempat masyarakat belajar, PKBM merupakan tempat masyarakat memperoleh berbagai ilmu pengetahuan dan bermacam ragam keterampilan fungsional sesuai dengan kebutuhannya, sehingga masyarakat berdaya dalam meningkatkan kualitas dan kehidupannya.
2. Sebagai tempat tukar belajar, PKBM memiliki fugsi sebagai tempat terjadinya pertukaran berbagai informasi (pengalaman), ilmu prngetahuan dan keterampilan antar warga belajar, sehingga antara warga belajar yang satu dengan yang lainnya bisa saling mengisi. Sehingga setiap warga belajar sangat memungkinkan dapat berperan sebagai sumber belajar bagi warga belajar lainnya.
3. Sebagai pusat informasi, PKBM harus mampu berfungsi sebagai bank informasi, artinya PKBM dapat dijadikan tempat menyimpan berbagai informasi pengetahuan kemudian disalurkan kepada seluruh masyarakat atau warga yang membutuhkan.
4. Sebagai pusat penelitian masyarakat, teritama dalam pengembangan pendidikan nonformal. PKBM berfungsi sabagai tenpat menggali, mangkaji, menganalisa berbagai persoalan atau permasalahan dalam bidang pendidikan nonformal dan kererampilan baik yang berkaitan dengan program yang dikembangkan di PKBM..

F. Program-program yang dikembangkan PKBM
Dalam hal ini, ada beberapa program yang dikembangkan PKBM diantaranya, bidang pendidikan nonformal, bidang pendidikan ini merupakan program andalan PKBM saat ini. Terutama program-program yang menjadi kebijakan pemerintah, diantaranya:
1) Program keaksaraan fungsional
Program ini bertujuan untuk membelajarkan masyarakat, agar dapat memanfaatkan kemampuan dasar baca, tulis, hitung dll.
2) Pengembangan anak usia dini
Program ini bertujuan untuk meningkatkan hasil kualitas karena sampai saat ini perhatian terhadap pendidikan usia dini sangat rendah.
3) Program keaksaraan
Program kesetaraan meliputi program kelompok belajar paket A setara SD/ MI, kelompok belajar paket B setara SMP/ MTS dan kelompok belajar paket C setara dengan SMA/ MA.
4) Kelompok belajar usaha atau KBU
Memalui program usaha kerja ini diharapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta kemampuan warga belajar akan semakin bertambah atau semakin meningkat, terutama bagi warga yang belum memiliki sumber mata pencaharian yang tetap dan berpenghasilan yang rendah. Program kelompok belajar usaha diperuntukkan bagi masyarakat yang minimal telah bebas buta aksara atau selesai program kesetaraan paket A.
5) Pengembangan program magang pada PKBM
Program magang merupakan program khusus yang dikembangkan PKBM, program magang tidak dilaksanakan oleh semua PKBM, karena program ini menuntut kesiapan dan kerjasama dengan mitra industri tertentu. Program pembelajaran magang biasa disebut dengan belajar sambil bekerja. Oleh karena itu program ini cenderung menyatukan antara pendidikan dan pelatihan atau menyatukan antara peningkatan pengetahuan dan dalam melakukan suatu keahlian sehingga menjadi rangkaian pekerjaan yang saling berhubungan.
6) Khursus keterampilan
Program khursus keterampilan dalam PKBM merupakan program yang tidak dapat dipisahkan dengan program magang. Kedua program ini pengembangannya saling terkait satu sama lainnya, dimana khursus keterampilan yang dikembangkan dalam PKBM bisa dilakukan melalui pendekatan magang. Adapun keterampilan yang teridentifikasi dan dikembangkan dalam PKBM adalah keterampilan komputer, keterampilan bahasa, khursus keterampilan mekanik otomotif, tata kecantikan dll.
7) Program PKBM diluar Program Depdiknas
Disamping program-program pendidikan nonformal ada beberapa PKBM yang mengembangkan program pembangunan masyarakat, program ini biasanya lebih diarahkan pada peningkatan usaha / ekonomi atau peningkatan pendapatan warga belajar masyarakat seperti pembangunan usaha tanaman hias, kegiatan penggemukan sapid an kambing dan pengembangan usaha rumput laut, dimana program-program tersebut tidak dikaitkan denagn kegiatan pendidikan nonformal, tetapi lebih terfokus pada kegiatan ekonomi dan pembangunan masyarakat.

G. Pengelolaan PKBM
1. Pengelolaan sumberdaya Manusia
Pengaruh perubahan masyarakat yang sangat cepat menuntut konsep pengelolaan PKBM yang membuka diri terhadap tuntutan perubahan dan berupaya menyusun strategi yang selaras dengan perubahan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat (lingkungan), terutama lingkungan masyarakat yang secara langsung bersinggungan dengan pengembangan PKBM. Pengelolaan PKBM yang selaras dengan perubahan yang terjadi sangat bergantung kepada kemampuan pengelola (penyelenggara) dalam menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan masyarakat dimana PKBM dikembangkan.
Pengelola PKBM harus mampu menyusun strategi yang ampuh terutama dalam rangka mengatasi setiap perubahan yang terjadi. Untuk itu diperlukan pengetahuan tentang perilaku manusia dan kemampuan untuk mengelolanya sehingga program yang dikembangkan PKBM efektif dan efisien.
2. Strategi pengembangan Pengelolaan program PKBM
Untuk menghadapi perubahan pengelolaan program PKBM, maka disusunlah strategi yang baik untuk menilai hal perilaku dan hal kompetensi sumber daya manusia yang bertujuan agar peran sumber daya manusia dapat meningkatkan keunggulan kompetitif PKBM serta dapat diperoleh peran sumberdaya manusia strategis. Adapun strategi sumber daya manusia yang dapat mengarahkan PKBM kearah yang professional, antara lain:
a) Strategi rekrutmen dan seleksi
Strategi ini bergantung kepada PKBM yang didalamnya terdapat factor-faktor seperti tipe pengelola yang dibutuhkan, jumlah anggaran yang tersedia, apakah tujuan PKBM termasuk memperkuat program atau produk dan jasanya.
b) Strategi perencanaan sumber daya manusia
Seperti perencanaan jangka pendek dan jangka panjang, dan PKBM dapat memilih strategi perencanaan mana yang cocok dan sesuai dengan kebutuhan program.
c) Strategi pelatihan dan pengembangan
Dengan strategi ini dapat dilihat secara spesifik level keahlian dari staf yang dibutuhkan PKBM sehingga staf tersebut dapat mengelola dan mengikuti perubahan program dalam pemahaman menajemen.
d) Strategi penilaian kenerja
Penilaian ini sangat dibutuhkan untuk hasil evaluasi, salah satunya dalam masalah pengelolaan PKBM dan tingkat kemampuan control program dari masing-masing penanggung jawab program.
e) Strategi Kompensasi
PKBM akan berkembang lebih professional dan bisa bersaing secara kompetitif apabila bisa ditekankan pada kompetensi individual dan kreatifitas serta menggunakan honor atau gaji yang didasarkan atas pengetahuan dan keahlian masing-masing.
f) Strategi manajemen staf/ karyawan
Strategi ini dapat digunakan untuk penetapan kebijakan yang jelas terhadap staf dan pengelola terutama dalam tugas dan tanggungjawab masing-masing, kreatifitas dan proaktif terhadap pengembangan program dan masalah.

https://spupe07.wordpress.com/2011/09/13/pusat-kegiatan-belajar-masyarakat-dalam-pendidikan-luar-sekolah/

Kelemahan Pendidikan Nonformal

profesional non formal Kelemahan Pendidikan Nonformal
ilustrasi
Di samping berbagai keunggulan ,perlu dikemukakan di sini bahwa pendidikan nonformal bukan tanpa kelemahan. Kelemahan yang terdapat dalam program pendidikan ini antara lain: kurangnya koordinasi, kelangkaan pendidik profesional, dan motivasi belajar yang relatif rendah.
Kelemahan pertama, kurangnya koordinasi disebabkan oleh keragaman dan luasnya program yang diselenggarakan oleh berbagai pihak. Semua lembaga pemerintah, baik yang berstatus departemen maupun non departemen, menyelenggarakan program-program pendidikan nonformal. Berbagai lembaga swasta, perorangan, dan masyarakat menyelenggarakan program pendidikan nonformal yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan lembaga tersebut atau untuk pelayanan kepada masyarakat. Dengan adanya variasi program yang dilakukan oleh berbagai pihak itu akan memungkinkan terjadinya program-program yang tumpang tindih. Program yang sama mungkin akan digarap oleh berbagai lembaga, sebaliknya mungkin suatu program yang memerlukan penggarapan secara terpadu kurang mendapat perhatian dari berbagai lembaga. Oleh karena itu koordinasi antar pihak penyelenggara program pendidikan nonformal sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program serta untuk mendayagunakan sumber-sumber dan fasilitas dengan lebih terarah sehingga program tersebut mencapai hasil yang optimal.
Kelemahan kedua, tenaga pendidik atau sumber belajar yang profesional masih kurang. Penyelenggara kegiatan pembelajaran dan pengelolaan program pendidikan nonformal sampai saat ini sebagian terbesar dilakukan oleh tenaga-tenaga yang tidak mempunyai latar belakang pengalaman pendidikan nonformal. keterlibatan mereka dalam program pendidikan didorong oleh rasa pengabdian kepada masyarakat atau kerena tugas yang diperoleh dari lembaga tempat mereka bekerja, dan mereka pada umumnya berlatar belakang pendidikan formal. Kenyataan ini sering mempengaruhi cara penampilan mereka dalam proses pembelajaran anatara lain dengan menerapkan pendekatan mengajar pada pendidikan formal di dalam pendidikan nonformal sehingga pendekatan ini pada dasarnya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembalajaran dalam pendidikan nonformal. Pengelolaan program pendidikan nonformal memerlukan pendekatan dan keterampilan yang relatif berbeda dengan pengelolaan program pendidikan formal. Untuk mengatasi kelemahan itu maka diperlukan upaya peningkatan kemampuan tenaga pendidik yang ada dalam pengadaan tenaga profesional pendidikan nonformal.
Kelemahan ketiga, motivasi belajar peserta didik relatif rendah. Kelemahan ini berkaitan dengan:
  1. Adanya kesan umum bahwa lebih rendah nilainya daripada pendidikan formal yang peserta didiknya memiliki motivasi kuat untuk perolehan ijazah.
  2. Pendekatan yang dilakukan oleh pendidik yang mempunyai latar belakang pengalaman pendidikan formal dan menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran pendidikan nonformal pada umumnya tidak kondusif untuk mengembangkan minat peserta didik.
  3. Masih terdapat program pendidikan, yang berkaitan dengan upaya membekali peserta didik untuk mengembangkan kemampuan dibidang ekonomi, tidak dilengkapai dengan masukan lain (other input) sehingga peserta didik atau lulusan tidak dapat menerapkan hasil belajarnya.
  4. Para lulusan pendidikan nonformal dianggap lebih rendah statusnya dibandingkan status pendidikan formal, malah sering terjadi para lulusan pendidikan yang disebut pertama berada dalam pengaruh lulusan pendidikan nonformal.
Dengan demikian, kelemahan-kelemahan di atas merupakan beberapa contoh yang muncul di lapangan. Namun pendidikan nonformal makin lama makin diakui pentingnya dan kehadirannya sebagai pendidikan yang berkaitan erat dengan kebutuhan masyarakat dan bangsa serta sebagai bagian penting dari kebijakan dan program pembangunan.
(Sudjana, 2004: 41-42) Dari Skripsi Farel Setiawan 
http://www.imadiklus.com/2011/07/kelemahan-pendidikan-nonformal.html

Belajar Sepanjang Hayat

Belajar Sepanjang Hayat dalam Pendidikan Non Formal

Namin AB (Mahasiswa Program Pasca sarjana Uhamka)

Belajar tidak mengenal usia, waktu dan tempat, dimanapun kapanpun kita bisa belajar dari kehidupan ini. Belajar tidak harus dibangku sekolah atau pendidikan formal serta berizazah, tetapi belajar bisa dimana saja, dari berbagai sumber yang berisi tentang pengetahuan. Banyak orang yang belajar ototidak (belajar sendiri) namun mereka lebih berhasil dari orang-orang yang berpendidikan formal, itu artinya belum tentu orang yang berpendidikan formal bisa lebih sukses daripada orang yang tidak berpendidikan formal. Sesungguhnya yang membuat orang menjadi sukses adalah kemampuannya beradaptasi dengan orang lain, komunikatif, pandai begaul, punya kemauan keras dan tentunya skil tidak kalah penting.


Pendidikan non formal tidak mengenal ruang dan waktu, setiap orang bisa belajar kapanpun, orang bisa belajar dari apa yang dilihatnya, di dengarnya, dirasakannya, dialaminya dan lain sebagainya. Konsep pendidikan sepajang hayat pada pendidikan non formal lebih luas dari yang lainnya. Pendidikan non formal ini bisa dilakukan seperti kelompok belajar, organisasi, tempat kursus atau pelatihan, atau ditempat – tempat pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak. Oleh sebab itu sudah seharusnya setiap orang harus terus belajar dari setiap perjalanan hidupnya sampai ajal menjemputnya. Karena ilmu pengetahuan sangat berguna bagi setiap orang walalupun bagi orang yang sudah berusia lanjut sekalipun. Dalam islam dikatakan Allah akan mengangkat orang – orang yang berilmu dan beriman beberapa derajat, itu artinya betapa Allah menghargai orang yang berilmu karena dengan ilmu pula orang akan lebih mampu mengenal Allah dan lebih banyak mendekatkan diri padanya dengan ritual-ritual ibadah.

Sumber : http://pendidikan-info.blogspot.com/2010/01/long-life-education-pendidikan-seumur.html

Pendidikan Luar Sekolah

Judul Artikel: Pendidikan Luar Sekolah
Nama & E-mail (Penulis): Isjoni 
Dekan di FKIP Universitas Riau
Tanggal: 8 Pebruari 2004
Topik: Pendidikan Luar Sekolah : Sebuah Alternatif

Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS).

Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh factor ekonomi

Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.

Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergukir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah :
  1. Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;
  2. Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP;
  3. Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;
  4. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);
  5. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan
  6. Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah di Riau.

Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :

  1. Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;
  2. Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil;
  3. Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;
  4. Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat; serta
  5. Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.
Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :
  1. Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah;
  2. Pembinaan kelembagaan PLS;
  3. Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
  4. Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
  5. Meningkatkan fasilitas di bidang PLS
Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.


Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri..


Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. .


Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan.


Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah Pendidikan Luar sekolah sebagai alternative di dalam peningkatan SDM ke depan.


PLS menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari pada didengar, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus sekolah..Semoga. 

Sumber : http://re-searchengines.com/isjoni13.html